Nama : Mas Tirtodarmo Harjono
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, Jawa Timur 20 Januari 1924
Meninggal : Jakarta, 1 Oktober 1965 (usia 41 tahun)
Pasangan : Mariatni
Anak : 5
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtidarmo Harjono (MT. Haryono) merupakan salah satu Pahlawan Revolusi yang gugur dalam tragedi G30S/PKI. Beliau dimakamkan di Taman Pemakaman Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya 20 Januari 1924 ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat sekolah dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat SMU). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sempat selesai.
Ketika Proklamasi kemerdekaan RI di proklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), awal pengangkatannya ia memperoleh pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda, pernah juga ia ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Gresik adalah kota pelabuhan yang tua dan bandar yang ramai pada zaman kuno, Gresik pernah menjadi pusat agama Islam yang termashur di Indonesia ketika Waliullah Sunan Giri bersemayam disitu. Sampai sekarang keturunan Sunan Giri memakai gelar Mas di depan namanya. Pada tahun 1924 yang menjadi asisten wedana (sekarang disebut camat) di Kalitengah, Gresik ialah Mas Harsono Tirtodarmo. Pada bulan Januari tahun itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi Jaksa di Sidoarjo. Karena itu, ia berangkat pindah ke Sidoarjo meskipun isterinya (Ibu Patimah) tengah mengandung tua. Dalam perjalanan ke Sidoarjo, ibu Patimah merasa akan segera melahirkan, perjalanan ke Sidoarjo tidak diteruskan akhirnya mereka menuju ke rumahnya di Nieuw Holland Straat (sekarang Jalan Gatotan) di Surabaya. Di situ, pada tanggal 20 Januari 1924, ibu Patimah melahirkan putranya yang ketiga yang diberi nama Harjono, lengkapnya Mas Tirtodarmo Harjono (MT. Haryono).
MT. Haryono dilahirkan sebagai putera seorang B.B (Pamong Praja), kalangan B.B pada waktu itu mempunyai kedudukan yang istimewa diantara pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hanya B.B lah yang disamping kedudukan istimewanya biasanya juga mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke Perguruan Tinggi. Karena Nasionalisme boleh dikata timbul dan berkembang diantara orang-orang terpelajar, maka tidaklah mengherankan kalau putera-putera orang-orang B.B ini tidak sedikit yang menjadi penggerak dan pemimpin Nasionalisme. Misalny R.A Kartini, Dewi Sartika, dr. Sutomo, Mr. Sartono dan lain-lain. Demikian halnya kelak dengan MT. Haryono.
Pada masa kecilnya, MT. Haryono hidup sebagai puter seorang Jaksa di Sidoarjo. Ketika umur empat tahun, ayahnya diangkat menjadi wedana di Kertosono dan mereka pindah ke kota itu. Ketika umurnya enam tahun, ia masuk sekolah di HIS 6 (Hollands Inlandsche School = sekolah dasar). Ia suka berteman dan bermain-main dengan anak-anak lainnya dan selalu menjadi pemimpin mereka. Karena wataknya yang keras ia sebagai pemimpin dijuluki "Si Kepala Macan". Tetapi walaupun demikian, pada hakikatnya ia seorang pendiam dan bertindak hati-hati dalam segala hal. Ia belajar di HIS sampai kelas tiga dan kemudian atas tanggungan seorang Belanda guru ELS (Europese Lagere School = sekolah dasar Belanda) dan teman ayahnya, ia pindah ke kelas empat ELS di kota itu sampai tamat pada tahun 1937.
Tamat dari ELS, MT. Haryono meneruskan sekolahnya di HBS (Hogere Burger School = semacam SMP ditambah SMU yang disatukan dan hanya lima tahun, biasanya hanya untuk orang Belanda) di Bndung. Selama lima tahun ia harus berpisah dari orang tuanya dan menumpang pada orang lain di kota Bandung.
Sebagai pemuda pelajar, ia suka berolahraga. Ia suka atletik, tenis dan baseball. Hanya pada masa libur ia pulang ke orangtuanya yang sejak 1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang Gareng, Magetan, Madiun. MT. Haryono menyelesaikan studinya di HBS tepat dalam waktu lima tahun, ia tamat dari HBS pada tahun 1942 ketika Jepang masuk merebut dan menduduki Indonesia (Maret 1942).
Ketika GHS (Geneeskundige Hoge School = Perguruan Tinggi Kedokterna) di Jakarta dibuka kembali oleh Jepang sebgai Ika Dai Gakko, maka MT. Haryono masuk perguruan tinggi kedokteran tersebut untuk meneruskan studinya. Ia memang ingin menjadi seorang dokter. Baru tiga tahun ia belajar di Ika Dai Gakko ketika tiba-tiba Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. MT. Haryono sebagai pemuda mahasiswa Ika Dai Gakko tidak mau ketinggalan, segera menggabungkan diri dalam kancah perjuangan militer.
Mayor MT. Haryono yang selama perjuangn bersenjata tidak sempat memikirkan tentang perkawinan, sekarang ia ingin membentuk hidup kekeluargaan yang diidam-idamkan. Ia telah menjatuhkan pilihannya kepada Mariatni, seorang puteri Mr. besar Martokusumo yang berdomisili di Jakarta dan seorang tokoh yang tidak asing bagi Pemerintah Indonesia.
Pertunangannya akan dirayakan pada 2 Juli 1950. Pada waktu itu, Pemerintah memerlukan seorang Atase Militer untuk Negeri Belanda dan pilihannya jatuh pada Mayor MT. Haryono. Ini dapat dimengerti, karena Mayor MT. Haryono merupakan seorang terpelajar, fasih berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman serta berpengalaman dalam perundingn-perundingan dengan Belanda terutama dalam KMB yang baru saja berlalu.
Pada bulan Juli 1950, ia diangkat menjadi Atase Militer dan harus sudah ada di posnya di Den Haag pada akhir bulan itu juga. Berhubung dengan keberangkatannya yang mendadak, maka hari pertunangannya pada 2 Juli 1950 itu diubah menjadi hari pernikahannya. Pada tanggal 24 Juli 1950, mereka berangkat ke Negeri Belanda sebagai pengantin baru. Untuk sementara, mereka tinggal di gedung Kedutaan Indonesia di Den Haag, ibukota Negeri Belanda dan seolah-olah mereka berbulan madu di luar negeri.
Wataknya yang sederhana dan berhati-hati ditambah dengan jalan pikirannya yang praktis, tidak membiarkan keluarganya hanyut dalam hidup kemewahan yang waktu itu melanda kehidupan orang-orang "kelas atas".Keluarganya tetap hidup sederhana, baik ketika diluar negeri maupun ketika mereka telah kembali (1954) di Indonesia. Rumahnya di Jalan Prambanan No.8 Jakarta, tidak mencerminkan rumah seorang kelas atas maupun seorang yang bermandikan kemewahan. Rumah tersebut mencerminkan kesederhanaan yang bertanggung jawab.
Di rumahnya, ia suka menanam dan memelihara anggrek. Disamping rumahnya terdapat berderet-deret pot dengan bunga anggrek yang beraneka ragam dan warna. Pemeliharaan anggrek memerlukan ketekunan dan kesabaran, kehalusan dan kasih sayang yang tidak sedikit.
MT. Haryono seorang pendiam, namun ini bukan berarti bahwa ia bersikap acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Ia mempunyai lima orang anak. Dua orang anak tertua lahir di Den Haag pada saat ia menjabat sebagai Atase Militer di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto dan yang kedua Haryanti Mirya, anak ketiga Rianto Nurhadi, keempat Adri Prambanto dan yang kelima Endah Marina lahir di Indonesia. Untuk menjaga keselamatan keluarga terutama anak-anaknya, MT. Haryono tidak pernah membawa pulang senjata dan menaruhnya di rumah. Sifat berhati-hati tidak pernah ditanggalkan olehnya. Demikian MT. Haryono merupakan seorang suami yang baik dan ayah yang bertanggung jawab dalam keluarganya.
Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, anggota Tjakrabirawa yang menyebut diri mereka adalah Gerakan 30 September mendatangi rumah MT. Haryono. Istrinya terbangun oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa suaminya telah dipanggil oleh Presiden Soekarno. Istrinya kembali ke kamar tidur dan mengunci pintu dan mengatakan pada suaminya apa yang terjadi. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak pergi dan memberitahu pasukan untuk kembali pada pukul 8:00. Namun MT. Haryono curiga dan mematikan lampu serta memberitahu istrinya untuk pindah bersama anak-anak mereka ke kamar sebelah.
Pasukan Tjakrabirawa kemudian melepaskan tembakan melalui pintu kamar tidur terkunci dan MT. Haryono melompat ke lantai. Ia bersembunyi untuk menunggu penyerang pertama yang msuk ke kamar tidur membawa kertas pembakaran untuk cahaya. MT. Haryono mencoba untuk merebut senjata dari prajurit, namun gagal dan berlari keluar dari kamar dalam kebingungan. Dia ditembak mati oleh ledakan senjata, diseret melalui kebun dan tubuhnya dibawa ke salah satu truk yang menunggu dan dibawa ke Lubang Buaya, markas pemberontak di selatan pinggiran Jakarta. Jenazahnya disembunyikan di sumur bekas bersama dengan jasad para jenderal yang dibunuh lainnya.
Baca juga :
» Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
» Biografi Dan Sejarah Perjuangan R.A Kartini
» Biografi Dan Sejarah Perjuangan Dewi Sartika
Seluruh mayat ditemukan pada tanggal 4 Oktober dan para jenderal diberi pemakaman kenegaraan. MT. Haryono dimakamkan bersama rekan-rekannya di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada tanggal 5 Oktober, pada hari yang sama atas perintah Presiden Soekarno ia secara anumerta dipromosikan dan menjadi Pahlawan Revolusi.
0 Response to "Biografi Dan Sejarah Perjuangan Letnan Jenderal MT. Haryono"
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak...!