"Pecel lele, Mas!"
"Berapa?" Tanya Mas penjual yang asyik mengulek sambal terasi sambil sesekali membalikan gorengan lele di wajan raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang berbicara sedikit lebih keras.
"Satu di bungkus..!"
Perlahan tangannya merogoh saku celana, lalu duduk sembari menghitung uangnya. Malu-malu, tangannya di jorokkan sedikit ke bawah meja. Uang koin pecahan ratusan sudah di satukan dengan selotip bening per sepuluhan keping, pas jumlahnya sesuai harga.
"Nggak makan di sini saja, Mas? Takut keburu hujan ya?"
"Hihi, buat istri"
"Oo..."
Selesai pecel lele di bungkus bersamaan dengan bunyi keritik yang mulai menggambarkan titik-titik basah di terpal tenda milik Mas pecel lele. Agak berlari ia keluar, tetapi melebatnya sang hujan lebih cepat dari tapak-tapak kecilnya. Khawatir pecel lele untuk istri tercinta yang hanya dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya. Bungkusan itu ia rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi di balik kaos putih yang mulai transparan tersapu air. Tangan kirinya ke atas, mencoba melindungi kepalanya dari terpaan ganas hujan yang tercurah memukul-mukul. Saat itu ia sadar, ia ambil pecisnya. Ia pakai juga untuk melapisi bungkusan pecel lele.
Huf, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah jarak yang dekat untuk berjlan di tengah hujan, bukan?
Sahabat, apa perasaan anda ketika membaca kisah lelaki ini? Kasihan, iba, miris, sedih.
Itu kan anda! Coba tanyakan pada laki-laki itu, kalau anda bertemu. Oh, sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi heroisme sebagai suami yang penuh dengan perjuangan untuk membelikan penyambung hayat istri tercinta. Jiwanya dipenuhi getaran kebanggaan, keharuan dan kegembiraan. Kebahagiaan seolah tak terbatas, menyelam begitu dalam di kebeningan matanya. Ia membayangkan senyum yang menantinya, bagai bayangan surga yang terus terhidupkan di rumah petak kontrakannya.
Di tengah cipratan air dari mobil dan bus kota yang melaju cepat, juga sandalnya yang putus lalu hilang di telan lumpur becek. Ia akan tersenyum, senyum termanis yang di saksikan jagad. Seingatnya, ia belum pernah tersenyum semanis itu saat masih membujang. Subhanallah...
Sahabat...begitulah. Karena ada konsep barokah, kita tidak di perkenankan mengukur badan orang dengan baju kita sendiri. Pada pemandangan yang tak tertembus oleh penilaian subjektif kita itu, dari pada berkomentar yang sifatnya "iri tanda tak mampu" akan jauh lebih baik kita memuji Tuhan atas kebesaran-Nya. Mudah-mudahan Tuhan meluaskan barokah itu hingga kitapun merasakannya.
Kisah ini dikutip dari buku "Bahagianya Merayakan Cinta" karya Salim A Fillah.
0 Response to "Cerita Motivasi "Pecel Lele""
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak...!